Daftar Blog

Cara Melakukan Validasi Ide Startup

Sebuah startup memiliki peluang sukses lebih besar ketika mampu menguji dan melakukan validasi terhadap ide yang dimilikinya. Dengan berinteraksi terhadap orang lain serta menanyakan pertanyaan yang tepat, kamu dapat menguji apakah ide milikmu benar-benar dapat menyelesaikan masalah atau tidak. Selain itu, kamu juga akan mengetahui calon konsumen dan ketersediaan pasar untuk produk yang kamu kembangkan.

Salah satu risiko terbesar dari mengembangkan sebuah produk adalah mendesain sesuatu yang salah. Bayangkan ketika kamu sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan—bahkan tidak sedikit yang telah menghabiskan bertahun-tahun—hanya untuk mengetahui bahwa apa yang kamu kembangkan tidak akan sukses.

Jadi, bagaimana cara yang paling tepat untuk menguji dan memvalidasi ide menggunakan metode Lean dalam bisnis?

Validasi dulu ide yang kamu miliki

Sebelum memutuskan untuk mengembangkan sebuah ide, kamu terlebih dahulu harus melakukan validasi terhadap ide tersebut. Beberapa pertanyaan berikut akan membantumu untuk melakukannya:

  1. Validasi masalah yang dihadapi. Apakah masalah tersebut layak untuk diselesaikan? Apabila calon pengguna tidak berminat atas solusi yang kamu tawarkan, produk yang akan kamu kembangkan mungkin tidak akan menarik.
  2. Validasi pasar untuk menjual produk. Apakah kamu merasa bahwa solusi yang kamu buat akan memiliki tempat di hati masyarakat?
  3. Validasi produk/solusi yang kamu buat. Mungkin masalah tersebut memang nyata dan masyarakat membutuhkannya, tetapi apakah produk yang kamu buat memang dapat menjadi solusi dari permasalahan?
  4. Validasi keinginan untuk membeli dari konsumen. Masalah terbukti ada, permintaan pasar pun besar, juga produk yang kamu buat adalah yang terbaik. Tetapi apakah masyarakat rela untuk merogoh kocek masing-masing demi solusi yang kamu buat?

Apakah kamu perlu menyelesaikan keempat tahap di atas secara berurutan? Jawabannya akan bergantung kepada ide yang kamu jalankan. Beberapa solusi lebih mudah diuji dengan membuat sebuah situs web (validasi permintaan pasar) ketimbang membuat prototipe (validasi produk).

Apabila kamu telah benar-benar yakin telah memenuhi keempat kriteria tersebut, kamu dapat langsung melanjutkan ke tahap pengembangan produk. Bagi kamu yang masih belum yakin, kamu dapat selalu kembali ke tahap validasi untuk mempertajam ide hingga kamu merasa bahwa solusi tersebut siap untuk masuk ke tahap produksi.

 

SUMBER : TECH IN ASIA

Admin on Aug 16, 2019
Wow Bisnis Es Doger Gibran Rakabuming Dapat Suntikan Rp 71 Miliar !!

Jakarta - Startup Goola yang didirikan oleh putra pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming mendapat suntikan modal senilai US$ 5 juta atau setara Rp 71 miliar. Dana tersebut berasal dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures.

Dengan suntikan modal dari Alpha JWC Ventures, Gibran bakal merealisasikan target menjadi market leader di Indonesia dengan gerai di kota-kota besar dan kecil, serta memulai ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara tahun depan.

"Sebagai investor dan tim asal Indonesia, salah satu misi utama kami adalah untuk membawa wirausahawan dan startup Indonesia sukses di dalam negeri dan membawa mereka ke panggung internasional," ujar Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe melalui keterangan tertulis yang diterima.

Kios pertama Goola dibuka pada 17 Agustus 2018, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kini, Goola baru memiliki lima gerai yang tersebar di pusat perbelanjaan Jakarta.

Gibran berencana membuka 15 gerai tambahan di akhir 2019 ini, dan membuka 100 gerai secara keseluruhan pada 2020, serta memulai membuka toko di negara Asia Tenggara lainnya.

Goola juga akan merambah ke aplikasi yang kini sedang dikembangkan. Nantinya, aplikasi Goola memudahkan transaksi para pelanggan melalui pemesanan online tanpa antrean, program loyalitas, dan lain-lain.

"Adanya aplikasi adalah satu hal, tapi bagi saya, faktor terpenting tetaplah pada racikan minuman kami," kata Gibran.

Produk andalan mereka saat ini adalah versi modern dari minuman tradisional yang sudah populer, seperti Es Doger Jeger, Es Kacang Hijau, dan Es Goola Aren. Goola kini memiliki 22 menu minuman yang terbagi dalam empat seri, yaitu Signature (produk unggulan), Tea (teh), Coffee (kopi), dan Refreshing (minuman segar).

"Jika minuman manis dari negara lain bisa populer, mengapa minuman lokal kita tidak bisa? Produk kami telah diterima baik oleh pelanggan. Tak hanya Goola mengikuti tren konsumsi minuman manis yang sedang naik daun, banyak yang bilang minuman kami membawa kembali kenangan masa kecil mereka dan mengingatkan kembali pada tradisi yang sudah lama terlupa," paparnya.

Mereka pun harus bersaing dengan bubble tea, misalnya yang telah menjadi fenomena global dalam beberapa tahun belakangan, dengan total pasar global mencapai US$ 1,9 miliar di 2019 dan diperkirakan akan terus berkembang 7,4% per tahun hingga 2023

"Goola tadinya didirikan sebagai bisnis kuliner konvensional, namun kami kemudian menyadari bahwa kami bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar," Kevin menambahkan.

Admin on Aug 23, 2019
Pelajaran Penting Nasib Kodak dan Fujifilm buat Startup

Jakarta - Dalam memberi penilaian di acara Thinkubator, CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebut startup harus bisa berevolusi. Ia mencontohkan nasib Kodak vs Fujifilm.

Menurut William Tanuwijaya, startup mesti bisa lebih berhati-hati ketika pasar mulai berubah. Ia mengatakannya saat menilai Ngorder, startup yang membantu UKM yang berbisnis online lewat media sosial.

"Bisnis kamu punya risiko yang sangat besar karena kamu sangat tergantung pada social media platform," kata William saat acara live pitching Thinkubator Startup Competition di Studio 1 Trans TV, Jakarta, Jumat (29/3/2019) malam WIB.

 

Atas pernyataan itu, William lantas mengambil contoh yang terjadi pada persaingan bisnis Kodak dan Fujifilm di masa lalu. Pada tahun 2000, sebelum era kamera digital, kedua perusahaan ini memfokuskan bisnisnya pada film dan penjualan peralatan post-processing. 

Bisnis ini mampu memberikan mayoritas pendapatan bagi Kodak dan Fujifilm, masing-masing sebesar 72% dan 60%. Tapi ketika era kamera digital datang, nasib keduanya pun berubah.

Walaupun keduanya sama-sama berevolusi mengikuti pasar dan memproduksi kamera digital, tapi bisnis kamera digital Kodak justru membuat perusahaan rugi dan akhirnya mereka sempat bangkrut pada tahun 2012. Sementara Fujifilm justru melakukan diversifikasi bisnis dan merambah bisnis lain, seperti kecantikan, farmasi, bahkan mereka memproduksi panel LCD. 

Maka jika startup tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan berevolusi, kata William, bukan tidak mungkin mereka bisa bernasib sama seperti Kodak. Jika mampu melakukan sebaliknya, startup itu akan mengikuti jejak Fujifilm.

"Jadi di sini kamu harus benar-benar belajar dari pengalaman Kodak melawan Fujifilm, harus bisa berevolusi," jelas William. "Kalau kamu tidak bisa evolusi, kamu akan jadi seperti Kodak, kalau kamu bisa evolusi kamu akan menjadi seperti Fujifilm."

Admin on Aug 29, 2019
Benarkah Valuasi Gojek 10 Kali Lipat Dari Garuda?

Penjelasan Prof. Rhenald Kasali (PRK) tentang valuasi Gojek yang 14 kali lebih besar daripada Garuda membuat saya gagal paham. Ada beberapa poin yang saya ikut setuju, ada juga yang menurut saya agak menyesatkan.

Valuasi perusahaan by nature mirip dengan harga sebuah barang. Semuanya tergantung kesepakatan market. Sebuah batu akik misalnya, saat market sedang hot, nilainya 5 tahun lalu bisa puluhan juta. Sekarang dijual beberapa ratus ribu aja belum tentu ada yang beli. Harga pasar memang dibentuk oleh banyak hal, antara lain: nilai buku, proyeksi nilai ke depan, appetite investor, opini para analis ekonomi, serta hal-hal yang tidak terkait dengan fundamental bisnis, termasuk gosip, issue, halo effect dan lain-lain

Jadi menurut saya tidak perlu terlalu susah-susah menjelaskan secara ilmiah tentang valuasi Gojek yang nilainya astronomikal. Selama ada yang mau beli (atau mau investasi) dengan nilai sebesar itu, ya itu-lah patokan nilainya. Tidak perlu dicurigai ada bohong-bohongan, wong terbukti ada yang mau keluar duit sebesar itu kok. Kan dulu saja ada yang mau beli batu akik sampai milyaran.

Selama Gojek dan Unicorn2 lainnya belum IPO, di mana investornya lebih beragam dan penentuan valuasinya lebih democratized, kita tidak perlu terburu-buru komentar soal valuasi Gojek. Valuasinya adalah hasil transaksi dalam market yang relatif tertutup, terjadi di antara investor yang punya appetite serupa. Nilai valuasinya bukan sesuatu yang dapat menjadi patokan atau target bagi pemain bisnis digital lainnya.

Sebagai seorang tokoh yang opininya sangat berpengaruh, sebaiknya PRK bersikap lebih waspada terhadap fenomena ini ketimbang menjadi cheerleader. Kasus Uber misalnya, sebagai grandfather perusahaan ride-hailing, termasuk Gojek, saat ini nilai nya terus merosot hingga 30% lebih rendah daripada harga perdana saat IPO beberapa bulan lalu. Atau proyeksi nilai WeWork yang dipangkas setengahnya sebelum IPO karena mulai ada ketidakpercayaan terhadap model bisnisnya.

Argumen PRK bahwa Gojek memiliki intangible aset yang sangat besar yang tidak dapat dicatatkan dalam balance sheet menurut saya tidak bijaksana. Walaupun sifatnya intangible, seluruh aset yang diklaim dimiliki sebuah perusahaan pada gilirannya harus terefleksikan pada balance sheet. Nilai aset intangible sangat rentan, sehingga tidak bisa serta merta dapat diyakini memiliki nilai besar sebelum terbukti bisa menghasilkan profit yang diharapkan.

Argumen beliau selanjutnya tentang teori bisnis lama yang usang dan tidak relevan dengan bisnis digital juga saya anggap kurang bijaksana. Teori bisnis lama yang usang yang mana? Bahwa bisnis itu harus mendatangkan keuntungan, sampai kiamat pun tidak akan pernah usang. Bahwa bisnis digital memungkinkan cara-cara baru dalam menghasilkan produk dan layanan yang menggantikan cara lama, itu benar. Tapi kalau kemudian dikatakan bahwa Gojek membangun platform, membangun ekosistem, dan memiliki network effect, sehingga disimpulkan bahwa teori bisnis lama sudah usang, menurut saya terlalu simplistik. Mereka belum terbukti profitable dan bertahan, sehingga tidak bisa dikatakan teori bisnis lama sudah usang. Dan apabila terbukti berhasil, bisa jadi Gojek nantinya akan menguasai dan menjalankan bisnis-bisnis model lama (taxi, bank, dan lain-lain). Dan itu bukan karena inovasi bisnis digital. Tapi lebih karena kekuatan funding yang diraih dari “story telling” bisnis digital.

Terkait dengan penjelasan PRK tentang network effect (NFX) yang dimiliki Gojek juga kurang pas. NFX adalah kemampuan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi (penambahan nilai ekonomi) seiring dengan bertambahnya pengguna. NFX juga memungkinkan pengguna baru lebih mudah diakuisisi seiring dengan bertambahnya pihak yang telah masuk ke dalam ekosistem / platform bisnisnya.

 

Gojek jelas memiliki ekosistem (driver, pengguna, penyedia makanan, sistem pembayaran, dan segera: memiliki bank). Gojek juga memiliki (local) NFX, sehinga dapat menarik pengguna baru dengan bertambahnya layanan (karena menjaring lebih banyak pihak masuk ke dalam ekosistemnya). Tapi Gojek tidak memiliki NFX yang solid serta defensibilty-nya sangat rentan, sehingga hidupnya sangat tergantung dari funding yang didapatkan untuk mendapatkan skala yang besar. Skala yang besar ini yang kemudian menjadi senjata utama untuk mendominasi bisnis: akuisisi perusahaan lain, akuisisi talent, dan biaya promo yang tidak mampu dilakukan pemain lain. Eksistensinya sangat tergantung pada pertumbuhan dengan biaya yang sangat besar (growth at all cost), bukan karena memiliki NFX yang solid.

Hal ini berbeda sekali dengan WhatsApp (WA) atau Facebook (FB). WA (dan aplikasi chat lainnya) memiliki model bisns yang membuat orang terpaksa menggunakan WA untuk dapat berkomunikasi dengan pengguna WA lain yang jumlahnya sudah lebih besar. Demikian juga halnya dengan FB. Dominasi keduanya sangat tinggi karena NFX nya sangat solid. Mereka dapat menambah pengguna tanpa memerlukan penambahan investasi yang berbanding lurus. Cukup dengan menambah server, tidak perlu membakar uang untuk promo berlebihan (cash back, diskon, free ongkir, subsisdi driver, dll). Ditambah lagi, WA dan FB memiliki NFX global, sedangkan Gojek bersifat lokal: yaitu dalam radius beberapa kilometer, karena semuanya dibangun di atas layanan ride-hailing, kecuali Go-Pay.

Saya sebagai pengguna setia Gojek dan Gopay, terkadang menggunakan aplikasi pesaingnya (Grab dan OVO) apabila ada tawaran cashback dari OVO yang lebih menggiurkan. Tidak ada kekhawatiran sama sekali bagi saya untuk pindah aplikasi. Driver Gojek pun juga banyak yang merangkap sebagai driver Grab. Dan saya lebih sering memanggil langsung petugas Go-Clean tanpa memesan melalui aplikasi Go-Clean. Tidak banyak experience yang hilang apabila tidak menggunakan aplikasinya. Bayangkan apabila ada satu investor baru, dengan dana yang sangat besar ingin menghancurkan pasar: menggratiskan seluruh layanan. Sudah pasti customer (asset utama bagi perusahaan teknologi) akan segera pindah. Ini sudah dibuktikan di China dalam kasus Uber vs Didi.

Kita semua harus kritis dalam menanggapi fenomena yang ada. Valuasi Gojek yang 14 kali lebih besar daripada Garuda sah-sah saja. Sampai nantinya datang waktu pembuktian bahwa bisnisnya memang menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar daripada Garuda. Dan untuk membuktikan itu, sangat banyak faktor yang dapat menggagalkannya. Termasuk apabila investor berhenti menyuntikkan dana.

Untuk itu, daripada menjadi cheerleader, lebih baik para tokoh berpengaruh, dan juga pejabat pemerintah, fokus untuk mendorong pemikiran kritis para millenial yang terjun ke dalam bisnis digital. Bisnis digital pada akhirnya adalah bisnis as usual: menghasilkan profit. Bisnis digital perlu pemikiran super kritis, karena banyak faktor-faktor baru yang belum terdefinisikan sebelumnya, yang dapat menentukan berhasil atau gagal. Sangat berbahaya apabila mereka tergiring fokus pada gemerlap valuasi dan inovasi yang semu.

Admin on Sep 09, 2019
Pelajaran Bisnis dari Kisah Kejatuhan Sevel dan Kaskus
Gerai Sevel di bilangan Blok M itu telah tutup. Bekas bangunan tokonya tampak jadi kumuh dan tenggelam dalam kesunyian yang pedih.

Modern Group sebagai induk 7-Eleven Indonesia mengakui kerugian yang signifikan, hingga 400-an milyar.

Gerai Sevel yang dulu marak dimana-mana itu satu demi satu tumbang dalam kebangkrutan dan duka yang teramat masif.

What went wrong?

Saya sendiri dulu termasuk pelanggan Sevel. Jika ada janjian konsultasi dengan klien, saya selalu berangkat dari rumah saya di Bekasi jam 5 pagi (pagi amat yak).

Saya kemudian selalu milih rehat sarapan pagi di Sevel yang lokasinya terdekat dengan kantor klien; dengan menu breakfast yang lumayan premium (mahal maksudnya).

Saya mungkin dulu tipe pelanggan ideal yang diimpikan Sevel. Namun kemungkinan tak banyak pembeli yang seperti saya. Yang lebih banyak adalah anak-anak muda yang beli minuman alakadarnya (murah maksudnya) dan lalu nongkrong berjam-jam di kafe Sevel.

Akibatnya cukup fatal : pemasukan sedikit, sementara investasi tempat dan bahan untuk menyiapkan makanan premium telanjur amat mahal. Cost besar, pemasukan sedikit. Ujungnya kolaps.

Sevel mungkin contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Ndak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa. Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, namun sudah telanjur terkesan premium produknya – karena harus menyewa lahan di lokasi strategis yang amat mahal.

Harap diketahui, menyiapkan menu makanan seperti yang disediakan Sevel (spaghetti, nasi goreng instan, salad) itu mahal ongkosnya. Dan yang pahit : jika tidak laku harus dibuang. Jadi waste-nya amat sangat mahal.

Celakanya, menu varian makanan premium yang bahan bakunya mahal dan harus dibuang jika tidak laku itu; tidak banyak yang beli. Kebanyakan pembeli Sevel ya itu tadi : anak-anak muda yang cuma beli makanan murah lalu nongkrong berjam-jam di lokasinya.
 


Kisah kejatuhan Sevel memberi pelajaran : inovasi itu penting, namun jika inovasinya salah sasaran, bisa memberikan bumerang yang high-cost.

Pilihan strategi produk yang tidak pas ternyata bisa membuat sebuah bisnis terjungkal dengan penuh luka.

Yang muram : rencana akuisisi Sevel oleh grup Charoen Pokphand juga batal karena ketidaksepakatan bisnis. Kabarnya, pihak pemilik Sevel pusat di luar negeri tidak setuju dengan rencana bisnis yang diajukan Pokphand.

So what’s next?

Solusinya mungkin Sevel harus back to basic (fokus jualan fast moving consumer goods, tanpa harus ribet jualan aneka minuman, kopi dan makanan layaknya kafe). Lalu hanya fokus jualan di lokasi elit dan lingkungan perumahan dan kantor yang premium. Tutup lokasi lainnya yang tidak menghasilkan.

Contoh yang sukses adalah Circle-K di Bali. Anda lihat di Bali, Circle-K sukses karena dia fokus pada jualan consumer goods premium, dan di lokasi yang premium pula (dekat dengan destinasi turis-turis asing).

Jika SEVEL jatuh karena pilihan “product strategy” yang keliru, maka bagaimana dengan kisah menurunnya pamor Kaskus?

Kaskus, kita tahu pernah menjadi salah satu kanal internet paling populer di tanah air. Namun kini, perjalanannya mungkin kian termehek-mehek.
Sejumlah survei menunjukkan, trafik Kaskus makin menurun dan makin ditinggalkan para usernya.

Pada sisi lain, Forum Jual Beli (FJB) yang dulu sebenarnya merupakan salah satu ikon Kaskus kini kian tidak relevan (digilas oleh marketplace seperti OLX, Tokopedia dan Bukalapak).

FJB Kaskus mungkin terlambat melakukan inovasi, dan terkesiap saat melihat Tokopedia dan kawan-kawan melesat cepat.

Sejatinya, Kaskus dulu amat layak diharapkan bertransformasi menjadi Facebook rasa lokal atau WhatsApp rasa lokal. Dengan basis user yang masif, Kaskus dulu punya segalanya untuk menjelma menjadi Raksasa Social Media Indonesia.

Sayang beribu sayang, mereka tidak cukup inovatif, sehingga kian tenggelam dilibas FB, Line, Instagram dan WA (yang semuanya adalah produk asing).

Kaskus mungkin kembali menjadi korban Innovator’s Dilemma : terlalu mencintai produknya sendiri (forum
 
diskusi); dan terlalu asyik dengan produk ini, sehingga jadi kurang sensitif dengan perubahan yang terjadi.

Innovator’s Dilemma acap membuat korbannya jadi rabun : alias buta dengan aneka perubahan di sekelilingnya, dan lambat bergerak saat dinamika eksternal berubah.

Nokia, Yahoo, dan Blackberry adalah deretan korban innovator’s dilemma yang dilibas oleh disruptive change yang terjadi. Kaskus adalah contoh korban terbaru dari fenomena kelam ini.

Tren penurunan trafik Kaskus ini mesti diantisipasi dengan sejumlah langkah terobosan. Sebab jika tidak, lama-lama Kaskus bisa mati seperti Friendster. Atau makin tidak relevan.

Ada dua pelajaran bisnis ringkas yang layak dikenang dari kasus jatuhnya SEVEL dan tren penurunan kinerja Kaskus.
 


Pelajaran Bisnis # 1 : High Cost Innovation will Kill You
Inovasi adalah KOENTJI. Namun jika proses ini dilakukan dengan memakan biaya yang terlalu tinggi (high cost dan tidak efisien), maka pelan-pelan akan membuat cash perusahaan menjadi berdarah-darah.

Apalagi jika proses inovasi yang mahal itu hanya laku dijual untuk sekelompok kecil pelanggan; dan tidak terjual secara masif ke semua segmen. Alhasil, inovasi yang mahal ini akan berakhir dalam kenestapaan yang sia-sia.

Pelajaran Bisnis # 2 : Too Much Love will Kill You
Terlalu mencintai produk unggulan yang mungkin saat itu masih berjaya, acap membuat sebuah bisnis menjadi rabun dan tidak peka akan perubahan eksternal.

Terlalu asyik dengan produk unggulannya sendiri acap membuat sebuah bisnis luput menangkap distruptive innovation yang mendadak datang menyergap. Saat sadar, biasanya sudah terlambat. Penyesalan selalu datang saat duka perih telah datang menjemput.

Sebuah bisnis mungkin harus rela melakukan creative destruction. Atau dengan sengaja membunuh produknya sendiri, sebelum para rival melibasnya tanpa kenal ampun.

Product life cycle makin pendek. Sebelum siklus penurunan datang, sebuah bisnis harus sudah siap dengan produk baru yang lebih relevan dengan semangat zaman.

DEMIKIANLAH sekelumit kisah tentang kejatuhan Sevel dan Kaskus, dua produk bisnis yang pada masanya pernah menjadi legenda.

Apakah mereka bisa kembali bangkit, dan menciptakan sejarah baru? Hanya putaran waktu yang akan menjawabnya.
Admin on Sep 09, 2019
INGIN BUAT MOBILE APPS? PIKIRKAN LAGI

Setiap usaha dengan produk berbasis internet akan mengalami dilema dan jebakan besar. Kita hidup di era mobile first. Sekadar online tidak lagi cukup. Layanan harus bisa disediakan sesegera mungkin. Dimana ada demand, di situ harus ada supply. Terlambat menyediakan supply, purchase intent akan hilang dan konsumen akan lepas. Padahal mencari konsumen itu susah sekali. Satu-satunya teknologi yang memungkinkan tersedianya supply saat ada demand adalah ponsel. Karena hanya barang ini yang dibawa orang kemanapun. Janggal kalau mau belanja di martketplace atau naik ojek online harus buka laptop dulu -- karena tidak punya app. Satu-satunya teknologi yang relevan dalam ekosistem ponsel hanya mobile app. Bukan mobile browser. Karena hanya app yang bisa memberikan pengalaman yang relevan dengan perilaku pengguna ponsel.

 

 


Di titik ini kita sudah sadar harus mobile first. Tapi kemudian ada dilema begini: di sisi usaha, membuat mobile app itu mahal dan sulit. Terutama untuk mencapai versi stabil. Sedangkan di sisi pengguna, ponsel memiliki keterbatasan ruang untuk instalasi app. Tidak semua app yang diinginkan oleh pengguna dapat di-install karena storage yang terbatas. Ditambah, app populer yang ada di mayoritas ponsel seperti Facebook, Twitter, IG, Gojek, Grab dll, makin lama ukurannya kian membesar. Begitu pula cache app tersebut. Orang makin sering foto dan merekam video yang file-nya kian membesar. Ruang tersisa makin sempit. Makin sedikit pula peluang tersedia bagi penyedia app lain agar aplikasinya di-install oleh pengguna. Oh ya, jangan lupakan bloatware, aplikasi bawaan ponsel yang tidak bisa dihapus.


Inilah salah satu konsep dasar mengapa para Unicorn ingin menjadikan app-nya sebagai superapp. Karena keterbatasan ruang pada ponsel menyebabkan mereka, sebagai app populer atau daily app, memberikan competitive advantage. Karena app mereka sudah terpasang lebih dulu dan mendapatkan loyalitas pengguna. Kalau mereka menambah layanan lagi, ukuran aplikasi otomatis akan membesar dan menyediakan ruang makin kecil bagi app kompetitor, terutama yang app-nya belum di-install. Artinya, ketika sebuah superapp makin super, daya kompetisi app lain akan makin menurun. Bahkan yang bukan kompetitor.


App yang mungkin berkompetisi dalam realita seperti ini hanyalah app yang service-nya digunakan secara rutin atau berkelanjutan. App tersebut memenuhi kebutuhan penting yang muncul terus-menerus. Hanya dengan itu sebuah app dapat di-install dan bertahan di ponsel konsumen. Yang dengan itu app dapat menyediakan supply ketika ada demand. Yang tak kalah pentingnya adalah kebutuhan pengembang app untuk menangkap insight dari perilaku atau engagement pengguna di app-nya. Karena hanya melalui insight inilah pengembang dapat mengembangkan app-nya menjadi lebih relevan dan menangkap kebutuhan lain di sisi pengguna melalui berbagai metode data capture. Itu sebabnya superapp akan terus menjadi super -- karena tingginya engagement pada app membuat mereka kian relevan.

 


Ketika yang super akan makin super, dan yang biasa-biasa saja cenderung akan mati, maka perlu pertimbangan ulang bagi sebuah usaha berbasis internet untuk berinvestasi pada app.

Anda tidak harus segera berinvestasi pada pengembangan app apabila:

- Layanan anda tidak menyasar market consumer dalam skala luas.

- Bukan layanan yang memenuhi kebutuhan penting market consumer.

- Bukan layanan yang kebutuhannya muncul berulang-ulang dan berkelanjutan.

- Belum memiliki technology advancement (kecanggihan) yang bernilai tinggi yang tidak dimiliki pemain lain di pasar.

- Layanan anda bisa dengan mudah disubtitusikan oleh superapp.


Sekali lagi, mengembangkan app itu sulit dan mahal. Persaingan dalam ekosistem ponsel makin brutal. Kenali kondisi ini sebelum memutuskan berinvestasi pada app. Jangan bertarung di wilayah dimana peluang kemenangan anda kecil.

Admin on Sep 09, 2019
Benarkah Bukalapak PHK Karyawan??

Jakarta - Kabar tidak sedap berembus dari salah satu startup unicorn Indonesia, Bukalapak. Startup yang didirikan Achmad Zaky ini kabarnya sedang melakukan pemangkasan jumlah karyawan (PHK) secara besar-besaran.

Sumber detikINET menyebutkan, PHK ini menimpa sejumlah divisi. Di samping itu, Bukalapak juga dikabarkan menutup kantornya yang berada di Medan dan Surabaya. Meski demikian, tidak diketahui jumlah pasti karyawan yang terkena perampingan ini.

 

"Restrukturisasi katanya. Gak cuma satu divisi," kata sumber detikINET. Dia juga menyebutkan hari ini, Selasa (10/9/2019), akan ada pertemuan untuk mengumpulkan semua karyawan yang terdampak terkait keputusan perusahaan.

detikINET berupaya menghubungi pihak Bukalapak untuk meminta konfirmasi terkait kabar ini. Menanggapi laporan ini, pihak Bukalapak mengonfirmasi telah melakukan pengurangan pegawai sebagai bagian dari restrukturisasi perusahaan.

Bukalapak dikenal sebagai situs e-commerce yang identik dengan warna marun. Situs ini pertama kali dibuat pada awal 2010 oleh sang CEO Achmad Zaky.

Pengalaman kurang menyenangkan yang didapat ketika berbelanja online melatarbelakangi visi Bukalapak.com untuk menyediakan tempat jual-beli online yang aman bagi semua orang.

Seiring perjalanannya, Bukalapak semakin besar dan menarik minat investor menyuntikkan modal. Sejauh ini, tercatat ada Ant Financial, Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, GIC dan Grup Emtek yang menyuntikkan modal pada Bukalapak.

Bukalapak kemudian dinobatkan sebagai startup unicorn keempat yang dimiliki Indonesia. Unicorn adalah sebutan untuk startup digital kapitalisasi pasarnya sudah mencapai minimal USD 1 miliar.

 

Terkait jumlah yang terkena PHK, Intan menegaskan pihaknya tengah menata diri secara terbatas dan selektif.

"Yang jelas kami menata diri secara terbatas dan selektif supaya kami bisa fokus untuk bisa implementasi strategi bisnis jangka panjang," ujarnya.

Berdasarkan informasi dari sumber CNNIndonesia.com, mengatakan beberapa divisi seperti engineering, marketing, dan costumer service menjadi 'korban' dari dugaan pemangkasan Bukalapak tersebut.

Sumber pun mengungkap belum diketahui jumlah pasti berapa banyak karyawan yang terkena layoff. Selain berbagai divisi yang mengalami perampingan, Bukalapak pun dikabarkan menutup kantornya yang berada di Medan dan Surabaya.

Sumber CNNIndonesia.com yang lain pun mengungkap pemangkasan karyawan diduga mencapai ratusan orang.

 

Admin on Sep 10, 2019
BJ Habibie Ini Penyakit yang Diderita Almarhum Sebelum Meninggal Dunia

Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto pada Rabu (11/9/2019) malam.

Ia meninggal karena sakit yang dideritanya dan dirawat intensif sejak 1 September 2019.

Sebelum berpulang, Habibie ditangani 44 dokter yang tergabung dalam tim dokter kepresidenan. Mereka adalah para dokter spesialis dari berbagai bidang, dari ahli jantung hingga otak.

Kondisi Habibie memang dikabarkan menurun dalam beberapa tahun terakhir.

 

 

Pada 2014, Habibie dirawat di rumah sakit RSPAD Gatot Soebroto. Sebelum dipindahkan, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Borromeus, di Kota Bandung.

Diduga, Habibie kelelahan. Sehari sebelum dirawat, Habibie menghadiri pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Kalla di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Pada 2016, Habibie kembali dirawat di RSPAD. Saat itu, Habibie didiagnosa mengalami infeksi bakteri.

Akibatnya, suhu tubuh Habibie sempat mengalami demam selama beberapa hari.

Dua tahun setelahnya, yakni pada 2018, Habibie kembali menjalani perawatan karena kondisinya menurun.

Saat itu, dikabarkan ia kelelahan setelah melakukan kegiatan di berbagai kota di Indonesia.

Di tahun yang sama, ia juga sempat dirawat di Jerman karena mengalami kebocoran klep jantung.

Akibat kebocoran itu, terjadi penumpukan air pada paru-paru hingga 1,5 liter. Hal ini membuatnya sulit bernafas.

Tekanan darah Habibie, saat itu, juga meningkat sampai 180 ke atas.

Presiden Joko Widodo pun mengutus Tim Dokter Kepresidenan ke Jerman untuk memantau kesehatan Habibie.

 

 

Kali ini, Habibie kembali dirawat intensif di RSPAD Gatot Soebroto. sejak 1 September 2019.

Ketua TDK dr Azis Rani sempat menyatakan bahwa Habibie tengah berada dalam pengawasan ketat dan harus banyak istirahat.

"Dalam perawatan sekarang diperlukan pengobatan yang komperehensif, mencakup berbagai gangguan organ yang terjadi," kata dr Azis Rani.

Enam kali diterpa hoaks meninggal

Dalam beberapa waktu belakangan, Habibie kerap bolak balik rumah sakit. Di tengah kondisi tersebut, tak jarang pula muncul informasi hoaks yang menyatakan Habibie meninggal dunia.

Terakhir, kabar tersebut beredar pada Selasa (10/9/2019) dini hari di aplikasi chat dan media sosial. Bukan kali ini saja Habibie dikabarkan meninggal.

Berdasarkan catatan Kompas.com, sejak 2012, sudah enam kali Habibie dikabarkan meninggal dunia.

Kabar burung ini muncul hampir setiap tahun, yakni pada Februari 2012, November 2016, Januari 2017, Maret 2017, April 2018, dan terakhir pada September 2019.

Sempat membaik.

 

 

Sebelumnya Selasa kemarin (11/9/2019), putra Habibie, Thareq Kemal Habibie menggelar konferensi pers di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, tempat Habibie dirawat.

Menurut Thareq, kondisi Habibie saat ini stabil dan membaik.

Thareq melanjutkan, sakit yang dialami oleh Habibie lebih disebabkan oleh faktor kelelahan seiring usia lanjut Habibie.

"Mohon dimengerti, beliau itu memang sudah agak sepuh ya, sudah di usia di atas 80 tahun, yakni 83 (tahun) berjalan 84 (tahun). beliau beraktifitas sangat tinggi sehingga beliau suka lupa bahwa beliau itu udah 80," kata Thareq sebagaimana dikutip dari tayangan BreakingNews KompasTV.


Aktivitas yang tinggi itu, kata Tharq tidak diimbangi dengan kerja jantung.

Terlebih, sejak muda Habibie sudah memiliki masalah pada jantung.

Hal itu yang kemudian membuat Habibie kelelahan dan kesehatannya menurun hingga kemudian dilarikan ke Rumah Sakit.

Thareq menambahkan, pihak keluarga sengaja merawat Habibie di rumah sakit agar Habibie bisa istirahat total.

Pasalnya, jika dirawat di rumah, dipastikan banyak yang bakal menjenguk.

Hal itu justru membuat Habibie tidak bisa beristirahat.

Untuk saat ini, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan untuk menjenguk Habibie.

Termasuk keluarga pun hanya terbatas pada keluarga inti.

Hal ini bertujuan agar Habibie betul-betul bisa istirahat.

Dalam pernyataanya, Thareq juga menyinggung soal hoaks.

Thareq meminta agar masyarakat tidak percaya dengan berita hoaks yang menyatakan Habibie meninggal.

Saat ini kondisi Habibie tidak kritis.

"Tidak (kritis). Hanya belum siuman dari bangun saja. Agak istirahat, karena beliau lemah. Malam istirahat, tadi belum bangun. tidak ada kritis apa-apa," ujar dia.

Informasi atas kondisi kesehatan Habibie akan disampaikan langsung oleh Thareq secara berkala.

Tidak akan Dibawa ke Luar Negeri

Thareq mengatakan hingga saat ini tidak ada rencana membawa BJ Habibie berobat ke luar negeri.

"Tidak, tim dokter sini cukup. Kenapa harus dibawa ke Jerman? Lagipula sebagai orang tua yang sakit, kalau terbang dalam jarak jauh, dalam kondisi kayak gini lebih bahaya," kata dia.

 

Admin on Sep 12, 2019
PEMBELIAN TANAH GIRIK

Maraknya propoerti syariah, harus dicermati dengan sungguh-sungguh. Properti syariah terkadang hanya mengandalkan modal yang berasal dari pembayaran DP para konsumennya. Oleh karena itu banyak kita lihat sebenarnya tanah yang dibeli belum bersertifikat a.n developer. Namun masih a.n perorangan.

 

Apabila seseorg ingin membeli tanah dr developer properti syariah, dan statusnya ternyata belum bersertifikat, maka apa yang harus dilakukan? 

 

Admin on Sep 27, 2019
Bermasalah, Pembahasan RUU Minerba Diminta Libatkan Masyarakat

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

 

Admin on Sep 27, 2019