"Kita tingkatkan kualitas hidup perempuan Untuk menuju keluarga yang sehat."
Perjuangan hak Perempuan oleh masyarakat pada umumnya dimengerti sebagai perjuangan emansipasi perempuan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “emansipasi” diartikan sebagai, antara lain,”persamaan hak dalam hukum(kaum wanita sama haknya dengan kaum pria)”,(Poerwadarminta 1976:270). Realisasi dari gerakan emansipasi kaum perempuan di Indonesia dalam pengertian tersebut telah terwujud di banyak bidang seperti dilaksanakan Undang-undang Perkawinan Tahun 1974, diratifikasikannya Undang-Undang Anti Kekerasan, perbaikan Undang-Undang Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang menuntut persamaan upah pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki, dan sebagainya.
Sejarah perjuangan hak perempuan di Indonesia sesungguhnya bermula dan berangkat sejak Kartini mencetuskan ide-ide pembaharuan tentang pendidikan perempuan di kalangan rakyat Jawa. Kartini menulis seluruh aspirasi, cita-cita, ide-ide yang terkandung di dalam hatinya ke dalam surat-surat yang kemudian hari, setelah ia tiada, disusun oleh teman korespondensi Kartini, keluarga J.H Abendanon (menteri kebudayaan, agama dan kerajinan dari Hindia Belanda). Kumpulan surat-suta tersebut, meskipun tidak seluruhnya karena pertimbangan tertentu, disusun menjadi buku dengan judul Door Duisternis Tot Licht(Sesudah Gelap, Terbitlah Terang) terbit pada bulan April 1911. Dari buku tersebut juga memberikan inspirasi pada perhimpunan mahsiswa pribumi yang masih belajar di negeri Belanda, yaitu De Indisce Vereeniging,mempunyai kesadaran berbangsa. Peristiwa penting pada tanggal 2 Mei 1964, pengangkatan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Bung Karno({residen RI pertama)mengukuhkan peranan Kartini sebagai pencetus gagasan kebangsaan dan pendobrak tradisi yang menghambat ke arah kemajuan.
Didorong oleh rasa tanggung jawab terhadap nasib perempuan, nasib rakyat kecil yang bodoh dan miskin, Kartini merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu. Diilhami oleh pejuang modernisasi India, seorang perempuan India bernama Pandita Ramabai, Kartini juga memimpikan terwujudanya: Jawa Modern”(Soemandri:1976;770). Istilah Indonesia belum dikenal waktu itu. Dengan semangat yang menggebu-gebu, demi mewujdkan impiannya Kartini menengelamkan dirinya pada bacaan-bacaan tentang segala hal dari sejarah sampai kepada Budaya dan Filsafat yang diminatinya. Kartini haus akan pengetahuan Barat yang dianggapnya sebagai wahana ke alam kebebasan.Kartini bertanya-tanya tidak ada seorang pun yag berani mengutarakannya, sehingga sering timbul pertanyaan dalam benak Kartini,”Siapa yang harus mulai?” Kartini memandang manusia lain sebagai sesama yang memiliki hak sama yang harus saling menghormati karena kemanusiaannya, bukan karena kedudukannya. Motto Kartini dalam menyelenggarakan kehidupan bersama diilhami oleh perjuangan Revolusi Perancis yang berdasarkan semboyan liberte, egalite, fraternite yang artinya kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dengan demikian Kartini telah melakukan pendobrakan adat feudal yang untuk waktu itu cukup revolusioner. (Soemandari:1976:79) Lalu bagaimana prosesnya hingga Kartini bisa merealisasikan cita-cita mulianya?
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau biasa dikenal dengan nama R.A Kartini merupakan putri dari pasangan R.M. Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Ayahnya seorang bangsawan yang juga menjabat sebagai Bupati Jepara. Sementara ibunya merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara.Di era itu, wanita-wanita di negeri ini belum bisa memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Para wanita belum diizinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria, bahkan mereka juga tidak bisa menentukan pasangannya sendiri. Kartini sendiri hanya diizinkan sekolah sampai tamat E.L.S. (Europese Lagere School) atau setara dengan sekolah dasar. Setelah tamat sekolah, Kartini harus menjalani masa pingitan hingga saatnya tiba untuk menikah. Ini merupakan adat-istiadat yang berlaku di Jepara di saat itu. Saat remaja, Kartini banyak bergaul dengan orang terpelajar serta aktif dalam melakukan surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Tak hanya itu, beliau juga gemar membaca surat kabar atau majalah kebudayaan Eropa dan buku-buku, khususnya buku tentang kemajuan wanita. Ketertarikannya dalam membaca, akhirnya membuat Kartini memiliki wawasan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dari sinilah, Kartini mulai menyadari bahwa wanita sebangsanya sangat tertinggal jika dibandingkan dengan bangsa lain, terutama Eropa. Sejak saat itu, beliau mulai memberikan perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita dengan membandingkan antara wanita Eropa dan pribumi. Selain itu, Kartini juga menaruh perhatian pada masalah sosial. Menurutnya, seorang wanita juga perlu memperoleh hak yang sama dengan pria perihal kebebasan, otonomi dan juga kesetaraan hukum. Kondisi tersebut akhirnya membuat Kartini bertekad untuk memajukan wanita bangsa Indonesia. Beliau mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara. Sekolah tersebut mengajarkan cara menjahit, menyulam, memasak dan lainnya.
Sepeninggal Kartini, keluarga van Deventer tokoh politik Etis di era kolonial Belanda mendirikan Yayasan Kartini dan membangun Sekolah Wanita. Sekolah wanita ini pertama didirikan di Semarang, lalu meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Untuk mengenang jasa Kartini, sekolah tersebut pun diberi nama “Sekolah Kartini”
Diawali dengan perjuangan hak perempuan untuk mendapat pendidikan yang dirintis oleh Kartini(1879-1904) disusul oleh Dewi Sartika (1884-1947) dari Jawa Barat, Maria Walanda Maramis (1827-1924) dari Sulawesi Utara Nyai Ahmad Dahlan(1892-1936) dari Yogyakarta disusul oleh berbagai pergerakan perempuan menjelang kemerdekaan. Organisasi-organisasi massa yang bersifat kebangsaan muncul antara lain, Putri Mardiko (1912) dari Budi Utomo, Aisiyah(1917) dari Muhammadiyah, Jong Java Dames Afdeling(1924), wanita Katolik, Wanita Utomo(1925 dam lainnya. Pada tanggal 22 Desermber 1928 terjadilah untuk pertama kali Kongres Perempuan I di Yogyakarta yang disusul derngan KPI(kongres Perempuan Indonesia)pada tahun 1935 dan pada tahun 1946 terbentuk sebuah federasi organisasi-organisasi perempuan yang dinamakan KOWANI(Kongres Wanita Indonesia). Gerakan pembentukan partai juga menjadi kesempatan mengangkat peranan dan kedudukan di dalam ,masyarakat dan gereja. Di dalam masyarakat terbentuk Persatuan Wanita Kristen Indonesia(PWKI) untuk menggalang kekuatan merebut kemerdekaan. Dra Juliana Sarumpaet Hutabarat, menjadi pelopor mendirikan persatuan ini
Gerakan ini di gereja sudah dimulai dengan mengirim Diakones N.D Gultom sekolah ke Jerman dan dialah perempuan pertama orang Batak merintis pendidikan di luar negeri.(17 Feberuari 1927-18 April 2021)Tahun 1952 berangkat ke Dusseldorf-Kaisersswerth,Jerman. Setelah kembali dari Jerman perjuangan perempuan semakin gencar. Sejak tanggal 17 Mei 1971 didirikanlan Pendidikan Diakones pertama di Balige dan tanggal 23 Agustus 1983 dilakukan penahbisan Diakones pertama di HKBP Balige oleh Ephorus Ds. GHM. Siahaan. Model baju pakaian dinas resmi Diakones disamakan dengan model yang dibawa oleh Diakones N.D.Gultom. Sejak tahun 1952 di dalam Sinode Godang HKBP resmi dibentuk seksi perempuan dan tahun 1972 di dalam Sinode Godang diterimalah perempuan menjadi penatua. Di dalam Tata Gereja HKBP 1982-1992 , HKBP telah menerima perempuan menjadi pendeta di Gereja HKBP. Dan tanggal 27 Yuli 1986, penahbisan pendeta pertama perempuan di HKBP, yaitu Noorce P. Lumbantoruan STh di HKBP Pematang Siantar.
Tulisan “Sesudah Gelap terbitlah terang” menjadi inspirasi bagi para tokoh Indonesia seperti W.R Soepratman. Pemikiran Kartini dalam memajukan bangsa Indonesia, membuat Soepratman berinisiatif menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini” sebagai salah satu penghargan atas perjuangan yang telah beliau lakukan.
Presiden Soekarno juga mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. Isinya mengenai penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan juga menetapkan hari lahir Kartini yakni 21 April diperingati sebaai Hari Kartini hingga saat ini.
Berkat perjuangan Kartini, kini wanita Indonesia, baik di dalam masyarakat maupundi dalam gereja termasuk di Gereja HKBP. Sekarang laki-laki dan perempuan jadi memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, perempuan juga mendapatkan kesetaraan hak dengan pria dalam hal otonom dan kesetaraan hukum.
Catatan: Diakones N.D. Gultom baru meninggal 19 April 2021 di RS Balige. Beliaulah pelopor perempuan pertama di HKBP.
2 April 2024 Pdt.Luhut P. Hutajulu